Gurihnya Bisnis Mafia Pengemis
Saturday, 11 April 2015
Edit
Gurihnya Bisnis Mafia Pengemis |
Hari masih terlampau pagi. Azan subuh belum berkumandang. Tapi lima bocah sudah keluar dari rumahnya, di salah satu gang di Kelurahan Kebon Singkong, Klender, Jakarta Timur. Mereka bergerak menuju jalan raya.
Begitu sampai di jalan 5 orang bocah itu langsung menyetop bajaj yang melintas di Jalan Raya Bekasi. Mereka pun langsung meluncur dengan bajaj yang ditumpangi ke arah Kampung Melayu.
"Itu Wahid dan teman-temannya. Mereka mau mengemis di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Biasanya ada yang ke IKJ (Institut Kesenian Jakarta) atau ke Stasiun Kereta Api Cikini," ujar Jhoni, warga RW 01, Kelurahan Kebon Singkong kepada detik+.
Jhoni mengenal baik Wahid. Namun ia mengaku tidak mengenal 4 bocah lainnya yang pergi bersama Wahid. Jhoni menduga teman-teman sebaya yang diajak Wahid mengemis adalah anak-anak yang berasal dari desanya, di wilayah Indramayu, Jawa Barat.
Setiap Ramadan, Kebon Singkong memang selalu kedatangan warga baru. Mereka biasanya mengontrak selama sebulan, yakni selama bulan puasa saja. Mereka sengaja datang beramai-ramai ke Jakarta untuk mengemis. Beberapa hari sebelum Lebaran tiba mereka pun pulang kembali ke kampung halamannya.
"Mereka datang ke sini (Kebon Singkong) biasanya menggunakan truk. Sampai 5 truk kalau datang ke sini. Mereka ada yang orang tua, buta, anak-anak, dan pasangan suami istri. Mereka kemudian mengontrak di daerah sini," terang Jhoni, yang merupakan salah satu tokoh pemuda di wilayah itu.
Kedatangan rombongan pengemis musiman dari Indramayu itu terang saja menambah banyak jumlah pengemis di Jakarta. Jangan heran sekalipun Pemprov DKI Jakarta sudah melakukan penertiban di sejumlah titik operasi para pengemis, tetap saja para pengemis seolah tidak ada habisnya.
"Realitas di lapangan menunjukkan mereka merupakan sebuah jaringan. Ada semacam event organizer yang mengelola mereka. Terutama dalam memanfaatkan balita dan orang-orang cacat," jelas Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Effendi Anas saat berbincang-bincang dengan detik+.
Pria yang akrab disapa Effan ini mengatakan, tudingan adanya pengemis yang terorganisir ini bukan tanpa sebab. Soalnya dalam setiap penertiban yang dilakukan Satpol PP terhadap para pengemis, mereka seolah mempunyai standar operasi (SOP) sendiri. Misalnya, saat ditertibkan mereka begitu kompak dan secara sistematis mencoba menghalang-halangi. Selain itu mereka seolah sudah memahami jalan untuk melarikan diri. Padahal para petugas mengetahui kalau mereka bukanlah pengemis yang setiap hari mangkal di lokasi itu.
Dugaan adanya koordinator para pengemis semakin kuat lantaran para pengemis itu paham betul lokasi yang dirasa aman untuk dijadikan tempat dropping dan penjemputan para pengemis itu. Biasanya mereka di-drop di wilayah Cempaka Putih, Pasar Senen, Menteng, dan Kebayoran Lama. Sementara penjemputan dilakukan di lokasi yang berbeda-beda.
Effan memberikan cirri-ciri, pengemis yang terkoordinir biasanya didrop antara pukul 05.00-06.00 WIB. Sementara penjemputan dilakukan sekitar pukul 20.00-21.00 WIB. Sedangkan pengemis lokal atau yang biasanya beroperasi sendiri-sendiri tanpa batas waktu, kadang sampai larut malam mereka tetap mengemis.
Tapi sayangnya, saat ingin dirazia mereka sepertinya sudah mengetahuinya. Petugas pun kesulitan menertibkan para pengemis tersebut. "Kalau kita berjaga-jaga di titik-titik itu mereka akan beralih ke lokasi lain. Mereka sepertinya punya orang yang memantau situasi di lokasi pengedropan dan penjemputan," ujar Effan.
Bukan itu saja. Saat petugas Satpol PP berhasil menertibkan dan menangkapi sejumlah pengemis, mereka tidak pernah mau buka mulut soal koordinatornya. Sekalipun petugas Satpol PP sudah menarget orang yang diduga sebagai koordinatornya. Saat ditangkap, semua pengemis tidak ada yang mau mengaku siapa koordinatornya. Malah mereka seolah tidak mengenal satu sama lain. Padahal mereka datang secara bersama-sama.
"Masalahnya tugas yang kami lakukan hanya bersifat pembinaan. Bukan penegakan hukum sehingga kami tidak bisa memaksa mereka untuk mengaku. Lagi pula kami bukan polisi yang bisa melakukan penindakan," jelas Effan
Tudingan adanya mafia pengemis ini juga disuarakan Sekjen Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait. Menurut Arist, para pengemis, khususnya yang menggunakan balita di sejumlah titik keramaian di Jakarta sebagian besar merupakan sebuah jaringan mafia. Mereka mengendalikan bisnis sewa menyewa anak.
Dugaan adanya sindikat pengemis yang memanfaatkan para balita ini terlihat dari ketahanan anak-anak yang dibawa mengemis. Meski berpanas-panasan atau kehujanan, para balita itu terlihat tetap tenang. Arist pun curiga adanya penggunaan boat-obatan tertentu yang membuat para balita ini tetap terlihat tenang sekalipun dibawa panas-panasan atau kehujanan.
"Harusnya Pemprov DKI Jakarta mau bekerja keras untuk membongkar sindikat pengemis yang menggunakan balita. Sebab cara seperti itu jelas-jelas melanggar hukum. Harusnya Pemrprov DKI Jakarta lebih jeli melakukan pemantauan.
Arist kemudian menyebut, dari hasil penelusuran yang dilakukan Komnas Perlindungan Anas, di Jakarta paling tidak ada 25 titik lokasi pengemis. Sementara di daerah penyangga, seperti Depok, Bekasi, Bogor dan Tangerang, juga terdapat belasan titik lokasi pengemis.
"Untuk mengatasi masalah pengemis, Pemprov DKI Jakarta harus juga berkoordinasi dengan Pemda Bogor, Bekasi, Tangerang, dan Depok. Sebab mereka berpindah-pindah dari daerah-daerah itu. Jika di Jakarta sedang digalakkan razia mereka akan bergeser ke Bekasi atau daerah penyangga lainnya. Begitupun sebaliknya," tutur Arist.
Untuk itu Arist menyarankan Pemprov DKI melakukan pendekatan berbeda dari yang selama ini dilakukan. Sebab sejumlah pengemis yang beroperasi di Jakarta, tidak semuanya untuk menutupi kebutuhan ekonomi. Sebab mereka merupakan sebuah jaringan yang terorganisir dan sudah mengarah ke tindak pidana, yakni dengan menyewakan anak-anak.
Sumber: http://ww.detiknews.com